Selasa, 03 Juni 2008

REVIEW PERDA KAB. SRAGEN

KAJIAN PERATURAN DAERAH NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI IZIN PERUBAHAN STATUS PENGGUNAAN TANAH DAN/ ATAU PERUNTUKKAN PENGGUNAAN TANAH


PENGANTAR
Pembentukkan Peraturan Daerah merupakan peraturan yang pembentukkannya diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 17 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah merupakan peraturan daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pembentukkan Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2001 adalah dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemeritah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah.

Melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Pemerintahan Daerah diberi delegasi wewenang oleh pemerintah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan aturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Dalam melaksanakan wewenang yang didelegasikan Pemerintah Pusat kepada Daerah Kabupaten, maka perlu peraturan daerah yang mengatur mengenai wewenang yang didelegaikan tersebut.

Izin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah adalah pemberian izin untuk melakukan alih status penggunaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang daerah. Dalam pelayanan pemberian izin kepada Pemerintah Daerah memungut retribusi untuk mengganti sebagian atau seluruh biaya yang dikeluarkan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemeritah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah menjadi menetapkan retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah sebagai salah satu jenis retribusi perizinan tertentu. Sehingga dengan di buatnya Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2001 ini tidak bertentangan dengan Pertaturan yang lebih tinggi.

Mengenai obyek retribusi izin tertentu, melalui Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah bukan lagi menjadi wewenang Pemerintah Daerah.

Selain obyek Retribusi yang bukan menjadi wewenang Pemerintah Daerah, kewenangan mengenai Pertanahan tidak lagi menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 14 menyebutkan bahwa Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota, salah satunya meliputi pelayanan pertanahan. Namun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah sebagaimana dalam lampirannya menyebutkan bahwa hanya ada 9 (Sembilan) kewenangan yang menjadi urusan wajib Pemerintahan Daerah. Sedangkan izin perubahan status penggunaan tanah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 merupakan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pengkajian Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2001 ini adalah dalam rangka penertiban peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud pembentukkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004. Sebagai konsekuensi adanya penertiban peraturan perundang-undangan melalui hirarki adalah: pertama, peraturan yang lebih tinggi mengkesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori); kedua, isi peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi tingkatannya. Dikecualikan dalam hal ini apabila peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh UU ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah.

Pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan asas filosofis, sosiologis dan yuridis. Ketiga asas ini harus terlihat dalam setiap peraturan perundang-undangan. Pemenuhan terhadap ketiga asas tersebut, bisa menjadi tolak ukur apakah sebuah peraturan perundang-undangan tersebut telah disusun dengan baik atau tidak. Berikut akan disampaikan telaah kritis terhadap Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2001 dalam tinjauan filosofis, sosiologis dan yuridis.

A. TINJAUAN KRITIS SECARA FILOSOFIS

Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut negara. Menurut Hans Kelsen mengenai gerund-norm atau dalam pandangan Hans Nawiasky tentang staatsfundamentalnorm, bahwa pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan.

Dari aspek filosofis, Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2001 adalah dalam rangka menjaga keharmonisan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan. Peraturan Daerah ini juga untuk memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Retribusi Perizinan dimaksudkan guna biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari Retribusi perizinan.


B. TINJAUAN KRITIS SECARA SOSIOLOGIS

Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2001 secara sosiologis tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, sehingga kemunculannya tidak sensitif secara sosiologis. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan Ijin pada saat status tanah tersebut bukan lagi dalam kondisi tanah pertanian, namun sudah menjadi bangunan.

C. TINJAUAN KRITIS SECARA YURIDIS

Pembentukkan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract legal norms) berupa peraturan yang bersifat tertulis, pada umumnya didasarkan atas beberapa hal. Pertama, pembentukkannya diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi; Kedua, pembentukkannya dianggap perlu karena kebutuhan hukum .
Peraturan Daerah merupakan salah satu bentuk peraturan pelaksana undang-undang, kewenangannya mengatur bersumber dari kewenangan yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu, peraturan daerah juga dapat mengatur sendiri hal-hal yang meskipun tidak didelegasikan secara eksplisit kewenangannya oleh undang-undang, tetapi dianggap perlu diatur oleh daerah untuk melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Berdasarkan penjabaran diatas, materi muatan peraturan daerah adalah:
(a) seluruh materi yang dibutuhkan dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan;
(b) menampung kondisi-kondisi yang bersifat khusus didaerah dan;
(c) menjabarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Sedangkan materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 17 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah tidak sesuai dengan tujuan hierarakisitas peraturan perundang-undangan yakni: pertama, peraturan yang lebih tinggi mengkesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori); kedua, isi peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi tingkatannya.
Peraturan Daerah 17 Tahun 2001 merupakan peraturan daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dicabut melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Selain mengenai kewenangan wajib yang telah dicabut, mengenai ketentuan obyek retribusi izin melalui Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah bukan lagi menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sehingga Peraturan Daerah 17 Taun 2001 ini bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan Daerah 17 Tahun 2001 bertentangan dengan beberapa ketentuan perundang-undangan, yakni sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 Retribusi Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah, tidak termasuk dalam Retribusi Perijinan tertentu.

Pasal 18 ayat 1
Yang menjadi Objek Retribusi terdiri dari, (a). Jasa Umum; (b). Jasa Usaha; (c). Perizinan Tertentu.

Pasal 18 ayat (3) huruf c, Retribusi Perizinan Tertentu yakni:
a. perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
b. perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan
c. biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari Retribusi perizinan.
Pasal 18 ayat (4), disebutkan bahwa,
“Dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam ayat sesuai dengan kewenangan otonominya dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan”.
Berdasarkan ayat (3) dan (4) tersebut, Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah bukan menjadi kewenangan otonomi dalam rangka asas desentralisasi. Hal tersebut terdapat dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana terdapat dalam peraturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007.

Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah

Sebelum adanya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001, tentang Retribusi Daerah pengaturannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemeritah Nomor 20 Tahun 1997. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1998 menetapkan retribusi Izin Perubahan Status Penggunaan Tanah sebagai salah satu jenis retribusi perizinan tertentu. Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001, Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah tidak termasuk dalam salah satu jenis retribusi perizinan tertentu.

Pasal 4
(1) Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarianlingkungan.
(2) Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek.

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 mengatur tentang Retribusi Lain-Lain,
”Selain jenis retribusi yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis retribusi lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan dalamUndang-undang”.

Penjelasan Pasal 6,
“Yang dimaksud dengan jenis retribusi lainnya, antara lain, adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah diserahkan kepada Daerah”.

2. Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

Sedangkan Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dimaksud dengan Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi, (a). penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; (b). penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; (c). penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; (d). penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; (e). penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; (f). penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; (g). penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1997

Sebagaimana dalam Peraturan pelaksananya, dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1997, menyebutkan bahwa jenis – jenis penerimaan negara bukan pajak yang yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, yang termasuk yaitu:
(a) Penerimaan dari pengukuran dan pemetaan;
(b) Peneriman dari pemeriksaan tanah;
(c) Penerimaan dari konsolidasi tanah secara swadaya;
(d) Peneriman dari redistribusi tanah secara swadaya,
(e) Penerimaan dari ijin lokasi.

Alasan-alasan yuriidis tersebut diatas menegaskan bahwa Retribusi Izin Retribusi Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah bukan merupakan jenis retribusi izin tertentu maupun retribusi lain-lain yang menjadi kewenangan otonomi dalam rangka asas desentralisasi.

3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.


Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
Menyebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-U ndang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

Dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan tersebut adalah sesuai dengan hierarki. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan vang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.



Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Dalam konsiderans Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2001 menantumkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Ketentuan tentang Retribusi Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah tidak termasuk dalam obyek retribusi dalam ketentuan ini. Sehingga penetapan Retribusi Izin ini tidak memiliki dasar kewenangan yang sah.


4. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 14 ayat (1), Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Pelayananan pertanahan merupakan Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisah dari PP 38 Tahun 2007 menegaskan bahwa hanya ada 9 (Sembilan) kewenangan yang menjadi urusan wajib Pemerintahan Daerah. Sedangkan izin perubahan peruntukan tanah bukan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 merupakan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam ayat (3) menyebutkan bahwa Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam PP 38 Tahun 2007 ayat (3) ini mengatur tentang Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan tersebut terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan. Salah satu urusan pemerintahan yang dibagi adalah urusan dalam bidang pertanahan. Dalam ayat (6) menyebutkan bahwa Rincian ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini, Kewenangan pemerintah daerah dalam bidang pertanahan adalah :
a. ijin lokasi;
b. pengadaan tanah untuk kepentingan umum;
c. penyelesaian sengketa tanah garapan;
d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;
f. penetapan tanah ulayat;
g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
h. ijin membuka tanah;
i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan pasal 6 terdapat pembagian urusan pemerintahan yang Menjadi
Kewenangan Pemerintahan Daerah yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 7
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
h. kepemudaan dan olahraga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;
m. ketahanan pangan;
n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. perhubungan;
q. komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan; dan
z. perpustakaan.
(3) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
(4) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. pariwisata;
f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.
(5) Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah.

Berdasarkan ketentuan pada pasal diatas maka ketentuan tentang Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah bukan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.



CABUT PERDA NOMOR 17 TAHUN 2001

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 adalah acuan dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan, tujuannya adalah untuk menertibkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagai konsekuensi adanya penertiban peraturan perundang-undangan melalui yakni: pertama, peraturan yang lebih tinggi mengkesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori); kedua, isi peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi tingkatannya.
Kajian Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 17 Tahun 2001 ini merefleksikan kondisi carut marut penataan sistem perundang-undangan di Indonesia, keberlakuan peraturan perundang-undangan yang tidak mengacu pada peraturan perundangan diatasnya. Carut-marutnya sistem peraturan perundang-undangan ini berimplikasi pada Tumpang tindih kewenangan antar penyelengara pemerintahan sebagai akibat ketidaksinkronan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun horizontal.
Secara yuridis Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 17 Tahun 2001 ini batal demi hukum. Dasar pembentukkan Peraturan Daerah ini tidak sesuai dengan Peraturan yang berada diatasnya. Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 17 Tahun 2001 dinilai sangat bertentangan dengan semangat desentralisasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya.
Selain itu, Peraturan Daerah ini tidak memiliki dasar hukum, yakni dalam hal penarikan Retribusi Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah. Dalam ketentuan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, tidak menyebutkan bahwa retribusi Ijin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah menjadi salah satu obyek retribusi ijin.
Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 17 Tahun 2001 tidak mempunyai dasar hukum karena mengatur mengenai retribusi untuk pemberian izin terhadap kegiatan yang bukan lagi menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sebagaimana terdapat dalam UU 32 Tahun 2004 melalui PP 38 Tahun 2007 yang terdapat dalam lampiran. Maka, pemberian izin perubahan peruntukan tanah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional, dan menurut pasal 52 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 “Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Badan Pertanahan Nasional, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara".
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, BPN merupakan instansi pemerintah dalam melaksanakan urusan pertanahan. Selanjutnya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang BADAN PERTANAHAN NASIONAL.
Peraturan Daerah ini telah mengakibatkan adanya tumpang tindih aturan secara vertikal dan horisontal, perilaku pembuat aturan dan pelaksana masih menyebabkan tujuan filosofis adanya izin Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah tidak sesuai dengan semangat filosofisnya. Sehingga tujuan penataan ruang agar keharmonisan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan tidak tercapai.
Perlu sinkronisasi dalam penyusunan peraturan Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah, secara vertikal maupun horisontal. Dengan pertimbangan yuridis ini, Peraturan Daerah Perubahan Status Penggunaan Tanah dan/atau Peruntukan Penggunaan Tanah perlu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Agar perumusan seluruh peraturan pelaksanaan Undang-undang mampu menciptakan sinergi antar sektor penyelenggara pemerintahan.

Senin, 21 April 2008

sekali lagi tentang Hak asasi

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu oleh Kekuatan Politik yang Bukan Bagian dari Masa Lalu

Pengantar

Sepanjang perjalanan kehidupan, masa transisi adalah masa keterjebakan yang menyulitkan. Menurut penyair pemenang Nobel Sastra 1995, transisi adalah sebuah dilema dalam segala dimensinya . Masa transisi, dalam segala bentuk definisinya, merupakan masa peralihan dan perubahan dalam bentuk positif dan negative, yang mampu mencerabut system nilai dan mengguncang tatanan social yang mapan. Masa transisional dalam negatifnya adalah menggugat secara paradigmatic, dimana system nilai yang tergugat berada dalam keadaan dan fenomena yang tidak normal. Sebaliknya, fenomena transisional juga menawarkan konsep-konsep baru dalam tatanan sosil kehidupan..
Masa transisi adalah masa yang berat dimana dalam satu putaran masa tersebut terdapat dua beban sekaligus, yakni transisi harus menyelesaikan kekerasan masa lalu dan transisi juga harus mampu menghadirkan harapan baru bagi tatanan social yang lebih adil dan damai. Karena transisi merupakan peralihan sebuah Negara dimana rezim yang sebelumnya berkuasa adalah rezim otoriter yang diktator-militerristik , kejahatan dan pelanggaran HAM dilakukan secara sistemik dan dilakukan oleh negara.
Pelanggaran HAM yang sistemik, meluas, dan dilakukan oleh Negara merupakan bentuk kehancuran demokrasi kenegaraan dan rendahnya instrument hukum dalam mengadili kejahatan oleh Negara. Menyelesaikan, menyelidiki, serta memproses pelanggaran HAM berat dimasa lalu tidak hanya menegakkan hak asasi manusia yang harus dihormati, namun dalam konteks kenegaraan hal ini juga sebuah proses rekonstruksi system politik dan system hukum Negara .
Satu decade pasca runtuhnya rezim orde baru, bangsa Indonesia belum juga mampu keluar dari polemic transisional ini. Banyak kajian yang dilakukan dalam rangka menuntaskan kontruksi system dan kenegaraan bangsa Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Peneliti CSIS, Indra J. Piliang . Menurutnya, transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan transisi yang ahistoris, ada ketidaksamaan transisi yang terjadi di Indonesia dengan Negara lain yang menurut ilmuwan yang mendalami transisi demokrasi, seperti Alfred Stepan, Juan Linz, Larry Diamond atau Guillermo O'Donnell, serta kesulitan bagi bangsa Indonesia saat ini untuk melakukan konsolidasi demokrasi.
Jika secara teoritis dinyatakan bahwa salah satu bentuk transisi bangsa adalah adanya dekonstruksi system politik Negara, namun di Indonesia, meskipun rezim otoriter telah tumbang system dan tatanan politik yang ada tetap menggunakan pola-pola lama. Sehingga proses transisi menuju konsolidasi bangsa hingga saat ini belum tercapai. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada system ketatanegaraan Indonesia saja, namun dalam proses penyelesaian kekerasan dimasa lalu pun hingga saat ini tidak pernah tuntas.

Upaya Penyelesaian: dari yang baru bukan bagian masa lalu
Secara teoritis untuk menjamin terlaksananya pelaksanaan HAM diperlukan tiga hal, yakni peraturan perundang-undangan yang baik, lembaga peradilan yang independent, serta lembaga pelaksana yang demokratis. Ketiga factor tersebut merupakan factor yang sangat signifikan dalam upaya penyelesaian tindak kekerasan terhadapa HAM dimasa lalu. Menurut J.E. Sahetapy, dalam menanggapi faktor-faktor penghambat penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, beliau berpendapat bahwa upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalunya, nampak seperti kincir angin -Berputar-putar terus, tanpa ada penyelesaian yang jelas dan tegas.
Meskipun pemerintah telah membuat instrument penegakan HAM, namun yang terjadi adalah ketidakefektifan dalam pelaksanaan. Muatan politik dan keengganan membawa setiap pelaku HAM berat masa lalu di pengadilan telah menuai gerakan demonstrasi oleh masyarakat korban pelanggaran HAM . Ketidakefektifan instrument penegakan HAM bukan karena kualitas instrument tersebut, akan tetapi actor pelaksana instrument tersebut berada pada system dan tatanan politik yang masih menggunalan pola-pola lama. Salah satu contoh baru-baru ini adalah Komnas HAM mengajukan surat ke Presiden Yudhoyono, terkait kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik korban serta keluarga korban kasus kekerasan politik tahun 1965, namun Negara cenderung mengabaikan .
Artinya adalah, tidak ada politic will dari pemerintah untuk menyelesaikan kekerasan masa lalu, hal ini disebabkan konfigurasi politik di pemerintahan. Kekuatan politik mayoritas bias menjadi penghalang dari upaya penyelesaian HAM masa lalu. Apalagi dalam ranah sejarah, kekuatan politik mayoritas -parlemen itu merupakan bagian integral dari rezim yang melahirkan kekerasan itu –orde baru.
Dalam upaya menyelesaikan HAM masa lalu, tidak hanya dibutuhkan kepemimpinan eksekutif yang baru , kuat dan bukan bagian rezim masa lalu, namun kekuatan parlemen yang bukan bagian rezim otoriter –lah yang mampu besinergi dengan pemerintah dalam upaya penegakan pelanggaran HAM di masa lalu. Jika unsur-unsur rezim masa lalu masih mayoritas dan dominan di pemerintahan maka upaya penyelesaian HAM masa lalu akan sulit untuk menemukan titik terang. Yang terjadi adalah berputar-putar terus laksana seperti kincir angin.


Daftar Pustaka

Asshiddiqqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Mahkamah Konstitusi, 2005.
Muladi, Hak Asasi Manusia, 2005
Todung Mulya Lubis, kumpulan Tulisan Hak Asasi Manusia.
Jurnal Hak Asasi Manusia, DIGNITAS, 2003
www.kompas.co.id
www.suara-pembaruan.com

presiden dan wakil rakyat

PRESIDEN DAN PARLEMEN DALAM HUBUNGAN KETATANEGARAAN ( IMPLIKASI PEMILIHAN PRESIDEN SECARA LANGSUNG)

Sebagian besar negara di dunia saat ini menggunakan Teori negara demokrasi modern. Anggapan bahwa sistem negara demokrasi modern dirasa lebih representatif dan kedaulatan tetap berada ditangan rakyat. Dari berbagai tipe negara modern memiliki kesamaan yakni dalam hal ide kebebasan dalam prinsip penentuan kehendak sendiri . Perkembanganya prinsip penentuan kehendak sendiri tidak dapat dilaksanakan secara murni. Kedaluatan tersebut dilakukan melalui perwakilan , oleh karena itu negara demokrasi modern disebut sebagai pemerintahan perwakilan yang representatif.
Banyak hal yang dapat dicapai dari adanya sebuah pemilihan umum, kedaulatan rakyat, legitimasi pemerintahan, serta pergantian pemerintahan secara teratur . Pemilihan umum dianggap sebagai cara yang paling demokratis. Karena itu, pemilu dan demokrasi berkaitan erat dalam subtansi maupun fungsi. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan. Pernyataan. kedaulatan rakyat diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa harus, di satu pihak, menjalankan dan, di lain pihak, mengawasi pemerintahan negara. Siapa menunjuk kepada orang (pemimpin) yang dipercaya rakyat untuk menjalankan kekuasaan politik guna mencapai tujuan-tujuan hidup rakyat, dan kepada sejumlah orang yang dipercaya mewakili rakyat mengawasi penyelenggara dan penyelenggaraan kekuasaan politik itu agar tidak disalahgunakan secara semena-mena. Karena. itu, fungsi utama pemilu bagi rakyat adalah "untuk memilih-milih dan melakukan pengawasan terhadap pemimpin dan wakil-wakil mereka".2 Ini menjadi inti praktek demokrasi modern yang secara umum dikenal sebagai demokrasi perwakilan .
Perkembangan konsep bernegara saat ini sebagian besar muncul dari teori kedaulatan rakyat. Alasan bahwa kekuasaan yang tertinggi adalah dimiliki oleh rakyata maka rakyatlah yang menentukan arah kehidupan dari suatu negar. Namun dalam perkembangannya, kedaulatan rakyat sulit dilaksanakan secara murni. Kompleksitas kondisi suatu negara serta jumlah penduduk dan geografis yang tidak kecil memunculkan gagasan sistem perwakilan atau biasa disebut dengan demokrasi representatif.

Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan satu-satunya kedaulatan yang masih dimiliki rakyat secara langsung. Proses pemilihan umum yang adil dan jujur adalah suatu bentuk perwujudan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat. Pemilu 2004 memberikan ruang aspirasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat, perkembangan dan tingkat kecerdasan politik masyarakat menuntut diberikannya kebebasan untuk dapat menyuarakan kepentingannya. Secara umum pengertian Sistem Pemilihan Umum adalah suatu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka. Sistem Pemilihan Umum adalah sebuah rangkaian aturan dimana di dalam nya terdapat cara pemilih mengekspresikan pilihan politik mereka dan suara itu kemudian diwujudkan melalui kursi-kursi di lembaga perwakilan.

Pemilihan Presiden (Pilpres) Langsung
Pada Pemilu tahun 2004, untuk pertama kalinya Indonesia menggunakan sistem Pemilihan Presiden secara langsung. Dalam teori pemilihan umum eksekutif, terdapat dua jenis sistem pemilihan yakni indirect election dan direct election. Indirect election ( pemilihan tidak langsung ), terjadi ketika presiden dipilih oleh badan yang telah dipilih oleh masyarakt luas, ini merupakan bentuk perwujudan demokrasi secara terbatas. Sedangkan direct election ( pemilihan langsung ), dimana pemilih secara langsung memilih calon presiden. Menurut Mahfud MD , latar belakang diadakannya pemilihan presiden langsung yakni, Untuk memunculkan presiden dan wapres yang memeang dikehendaki rakyat; untuk menghindari politik uang dan meminimalisasi transaksi jabatan; serta untuk menjamin stabilitas pemerintahan.
Unsur Partai Politik

Pemilihan presiden secara langsung merupakan salah satu ciri utama pemerintahan bersistem kepresidenan / presidensiil. Namun, terdapat ketentuan bahwa pihak pengusul paket capres/cawapres adalah partai politik atau gabungan parpol , sehihngga hal ini menimbulkan reduksi sistem presidensiil. Adanya paket calon yang berasal dari Partai politik berbeda menimbulkan tidak tercapainya single chief executive . Sehingga implikasinya adalah terdapat pembagian kekuasaan antara presiden-wapres. Adanya unsur partai politik atau gabungan parpol meupakan bentuk kompromi tingkat tinggi. Secara teoritis, tidak ada kaitannya antara pemilihan presiden dengan partai politik, namun karena pihak pembuat peraturan pilpres adalah legislatif dimana terdapat banyak kesepakatan dan kompromi politik yang dibangun. Unsur partai politik / gabungan dalam UU Pilpres berimplikasi pada banyak hal, termasuk dalam hubungan legislatif dan eksekutif kedepannya, termasuk juga dalam tubuh internal eksekutif.
Ketentuan yang berlaku dalam pemilihan presien langsung : Pasal 6, 6A & lain-lain pasal
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat .
(3) Pilpres diselenggarakan oleh KPU (Pasal 22E ayat 2 & 5).
(4) Warganegara yang memenuhi syarat untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum presiden. Pencalonan didaftarkan kepada KPU.
(5) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Maksudnya adalah, pasangan tersebut dinyatakan sebagai Presiden-Wapres terpilih oleh KPU dan “dilantik” di depan MPR.
(6) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih menurut ketentuan di atas maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan perolehan terbanyak pertama dan kedua berhak mengikuti pemilihan babak berikutnya.
(7) Pasangan yang memperoleh suara terbanyak, dalam Pilpres II, dinyatakan sebagai Presiden dan wapres terpilih.
(8) Perselisihan hasil penghitungan suara Pilpres diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat 1).
(9) Tata cara penyelenggaraan pemilihan dan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pemilihan presiden secara langsung pada dasarnya akan memberikan legitimasi yang kuat pada kedudukan presiden. Menurut Smita Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini (Notosusanto, 2002):
1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung;
2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;
3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara sebagian atau sepenuhnya;
4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang;
5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya


Secara teoritik, sistem Pemilu diklasifikasikan menjadi tiga sistem yakni, Pluralis- mayoritas, sistem semi proporsional, dan sistem proporsional. Pluralitas – mayoritas merupakan bahasa lain dari sistem distrik. Macam-Macam Variasi Sistem Pluralitas Mayoritas:
1. First Past The Post (FPTP), yakni pemilih diberikan pilihan untuk memilih dua partai besar, Calon anggota parlemen berasal dari partai calon anggota parlemen yang menang adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak, serta suara pemilih yang pilihannya (calon anggota DPR) tidak berhasil meraih suara terbanyak adalah tidak diperhitungkan alias terbuang.
2. Black Vote, yakni secara umum sama deng FPTP, tetapi jika FPTP dilakukan dalam distrik berwakil tunggal, BV dilakukan dalam distrik berwakil majemuk.
3. Party Block Vote, yakni Secara umum sama dengan FPTP dan BV, Tetapi jika BV dan FPTP pemilih memilih person dalam PBV pemilih memilih partai. Partai yang memenangkan sebagaian besar suara akan mengambil semua kursi di distrik tersebut dan semua yang terdaftar sebagai calon anggota lembaga perwakilan benar-benar dipilih, seperti dalam sistem FPTP, tidak ada keharusan untuk memenangkan mayoritas suara
4. Alternative Vote, dilakukan dalam distrik berwakil tunggal, serta perbedaan dr yg lain, adalah ketika memilih seorang pemilih dapat mengurutkan prioritas calon anggota parlemen yg dipilihanya, misalnya dengan memberikan no 1 bagi pilihan utamanya.
5. Two Round System, Dalam sistem pemilihan model TRS pemilihan tidak hanya dilakukan sekali, tetapi harus ada dua kali pemilihan. Dalam two round system, Putaran pertama dilaksanakan sama dengan seperti pemilihan model FPTP, jika seorang calon anggota lembaga perwakilan mendapatkan suara mayoritas absolut, maka mereka (calon anggota lembaga perwakilan) secara langsung dipilih, dan tidak diperlukan putaran kedua, tetapi jika tidak ada calon yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka putaran kedua dilaksanakan dan pemenang dari putaran ini dinyatakan terpilih.

Sistem Pemilu semi Proporsional, merupakan penggabungan atau memiliki karakteristik yang cukup dekat baik itu dengan sistem Pluralitas-Mayoritas dan sistem proporsional, ada beberapa model dalam sistem pemilihan Semi Proporsional, antara lain:
1. Paralel System, Dalam Sistem paralel, pemilih memilih 2 pilihan, kertas suaranya 2, yaitu pilihan dengan sistem distrik dan sistem proporsional. Hasil pemilihan dalam parallel system menghasilkan 2 jenis lembaga perwakilan, kayak di Indonesia ada DPD yang isinya dipilih berdasar sistem distrik dan DPR yg dipilih berdasar sistem proporsional
2. Limited Vote, Sistem ini termasuk sistem yang paling jarang digunakan, karena menggunakan sistem perwakilan untuk kaum minoritas. Limited Vote menggunakan distrik wakil majemuk, dan calon yang menang adalah yang memperoleh suara terbanyak.
3. Single Non Transferable Vote (SNTV) dimana setiap pemilih mempunyai satu suara, tetapi ada lebih satu kursi yang harus diisi dalam setiap distrik

Electoral Systems: Kategori Utama dan Variasinya

Plurality-Majority
Semi-proportional
Proportional

FPTP: First Past The Post Parallel systems List Proportional Representation
BV: Block Vote Single Non-Transferable Vote (SNTV) Mixed Member Proportional (MMP)
AV: Alternative Vote Single Transferable Vote (STV)
TRS: Two-Round System



Sistem pemilihan presiden pasca amandemen UUD 1945 tidak lagi ada campur tangan parlemen, bukan hanya melalui pemungutan pendapat pemilih secara langsung, melainkan juga dirancang dalam dua putaran (FPTP in two round and direct presidential election). Sistem ini akan menghasilkan presiden yang kuat jika pada putaran pertama calon presiden dan wapres dapat meraih suara 50 % plus 1. Artinya, pilpres hanya diadakan satu kali putaran. Namun hal tersebut tidak mungkin dapat tercapai, hampir dipastikan tidak ada calon presiden yang dapat memperoleh suara mayoritas absolut.
Menurut MAHFUD MD , dalam hubungannnya dengan sistem multipartai seperti saat ini, Pilpres akan sulit selesai dalam satu putaran. Sebab menurut UU pilpres 2004 misalnya, syarat jumlah suara berdasarkan pemilu legislatif yang harus dimilki partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden hanyalah 3 %, artinya setiap partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden sudah mengetahui hasil peroleh suara dalam pemilu legislative.
Meskipun banyak pengamat yang mengkritisi two-round system yang digunakan Indonesia. Sistem ini tidak memungkinkan untuk situasi politik dan geografis Indonesia, terlalu boros dan tidak efektif . Namun Ide dasar dari model pemilihan two round system ini adalah untuk menghindari terpilihnya sepasang kandidat presiden dan wapres dengan proporsi perolehan suara yang sangat minimal dibandingkan dengan jumlah pemilih secara keseluruhan. Pada dasarnya sistem two-round system merevisi sistem first past the post, yaitu suatu sistem pemilihan sepasang kandidat yang paling sederhana di mana kursi kepresidenan dan wakilnya diberikan pada kandidat yang paling banyak memperoleh suara. Beberapa negara yang dikenal mengikuti sistem first past the post ini adalah Zimbabwe, Kenya, Filipina, Zambia, Korea Selatan, Malawi, Islandia dan Mexico. Adapun negara-negara yang memakai sistem dua putaran adalah Mali, Pantai Gading, Kongo, Madagaskar, Polandia, Portugal, Rusia, Ukraina, Finlandia, Austria , Bulgaria dan lain-lain.
Sistem first past the post, besar kemungkinan akan menghasilkan sepasang pemenang pemilu dengan raihan suara mayoritas sederhana. Calon presiden dapat menjadi presiden dengan hanya mengantongi suara 20 persen saja atau bisa jadi di bawah itu. Kasus seperti ini pernah terjadi di Venezuela pada tahun 1993 yaitu ketika Rafael Caldera cukup bermodalkan 30,5% pemilih untuk merebut tiket menjadi presiden. Kasus yang serupa terjadi di negara tetangga kita, Filipina. Dari tujuh kandidat presiden, Fidel Ramos cukup mengantongi 25% suara pemilih saja. Dengan demikian, sistem dua putaran coba menganulir kelemahan sistem satu putaran dalam kerangka mempertebal legitimasi sepasang kandidat presiden dan wapres yang terpilih. Sementara itu, dalam model pemilihan satu putaran, karena dimungkinkan pemenang hanya meraih mayoritas sederhana dari voters turn out yang ada, maka besar kemungkinan calon presiden tidak memiliki kekuatan yang cukup secara legitimasi setelah memenangkan pemilu.

Koalisi

Koalisi dalam rangkaian pemilu presiden adalah akibat dari adanya Unsur partai politik yang mengusung pasangan kandidat. Sistem multipartai yang dianut di Indonesia berimplikasi pada adanya koalisi partai-partai politik. Koalisi pemerintahan dapat dibagi tiga: koalisi pas-terbatas (minimal winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisi kebesaran (oversized coalition). Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Jumlah partai yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mencapai dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Sedangkan, koalisi kebesaran adalah bentuk pemerintahan yang sebagian besar mengikutsertakan semua partai ke dalam kabinetnya.
Koalisi pemerintahan yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya, koalisi kebesaran telah menghasilkan pemerintahan yang terlalu gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik ke depan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas. Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; Koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Yang ideal adalah dibentuknya Koalisi pas-terbatas, susunan kabinet yang mengakomodasi kepentingan politik sekaligus tidak mengorbankan pertimbangan kapasitas dan profesionalitas, selain itu juga melahirkan interaksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Koalisi dan kabinet kekecilan dihindari karena melahirkan relasi presiden dan parlemen yang destruktif; sama halnya koalisi dan kabinet yang kebesaran tidak menjadi pilihan karena menghadirkan hubungan presiden dan parlemen yang kolutif .
Presiden minoritas, itulah produk yang dihasilkan dari sistem pilpres putaran kedua jika suara mutlak 50% plus satu. Hal ini merupakan implikasi konfigurasi politik (multi-partai dan fragmentasi) dalam sistem pemilihan umum. Presiden minoritas ini bukan karena pasangan calon presiden/wapres tersebut tidak dapat memperoleh banyak suara, melainkan ketika paket presiden/wapres yang dihasilkan melalui Pilpres Putaran Kedua harus berhadapan dengan mayoritas partai di DPR dari kubu non-presiden . Artinya, sangat dimungkinkan terjadinya koalisi partai-partai politik yang tidak memiliki basis suara yang mayoritas, sehingga terdapat “pasangan minoritas” menjadi presiden/wapres melalui Pilpres Putaran kedua .
Kondisi semacam ini mengharuskan presiden terpilih memperhatikan kehendak parlemen karena kebijakannya (dan janji-janji Pemilu) diwujudkan melalui pengangkatan menteri sari salah satu partai, proses legislasi dan APBN. Implikasinya adalah praktek politik dagang sapi dan politik uang dalam pengambilan kebijakan yang kasat mata. Dampak berikutnya adalah ketegangan terus-menerus antara Presiden dan DPR, dua kekuasaan negara yang memiliki legitimasi yang kuat dan langsung dari rakyat . Namun, hal ini juga akan dapat memunculkan mekanisme cheks and balances antara kekuasaan presiden dan kekuasaan legislatif yang memungkinkan adanya kontrol dan keseimbangan antara kekuasaan presiden dan legislatif, sehingga akan terbangun konsep dan kultur oposisi dalam pemerintahan di Indonesia.

Pemisahan Pelaksanaan Pemilihan Umum
Pemilihan umum legislatif dilaksanakan tidak bersamaan dengan pemilihan presiden . Pemisahan ini merupakan akibat dari pengaturan Pasangan Calon presiden/ wapres hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR . Sehingga untuk mengetahui jumlah perolehan suara partai politik, pemilu legislatif dilaksanakan sebelum pemilu eksekutif.
Pada dasarnya, adanya syarat 20 % suara sah partai politik atau gabungan secara nasional tak berkaitan langsung dengan pemilu presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensiil, kedudukan presiden adalah tidak bergantung pada parlemen. Presiden memiliki kekuasaan yang dituangkan dalam konstitusi, misalnya masa jabatan presiden, pemakszulan presiden, dsb. Namun, dengan adanya sistem multipartai dalam pemilu legislatif dan dipadukan dengan sistem presidensiil murni maka akan menghasilkan ketidakstabilan pemerintahan ( minority president ) dan pemerintahan terbelah (divided government). Akibatnya Presiden hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen dan ditambah minimnya kekuasaan konstitusional, menyebabkan banyak sistem presidensial gagal menghadirkan demokrasi yang stabil .
Atas dasar hal tersebut, pengaturan syarat Partai Politik pengusung partai politik atau gabungan secara nasional ini akan menghasilkan presiden yang memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat dan juga menghasilkan presiden yang tidak minoritas. Sehingga presiden pilihan langsung ini mampu melaksanakan kebijakannnya dan menyelenggarakan pemerintahan secara stabil serta presiden tidak mudah untuk dimakzulkan.

Rabu, 26 Maret 2008

sang perempuan

terkadang ia terlihat sangat lemah
dan juga begitu kokoh
terkadang menjadi bayang-bayang
juga terkadang nyata
memilih nya adalah keunikan
karena ia sang perempuan